Kajian Iftitah PRM Morokrembangan Angkat Tema Mengelola Tambang dalam Perspektif Islam

Pada Kamis (15/8/24) Kajian Pimpinan Ranting Muhammadiyah Morokrembangan Kecamatan Krembangan Kota Surabaya menggelar kajian rutin yang bernama “Iftitah”. Kajian tersebut bertujuan untuk membuka pintu rahmat bagi warga persyarikatan yang mau mengikutinya. Adapun tema dalam kajian kali ini adalah “Fikih Bi’ah: Mengelola Tambang dalam Perspektif Islam.”

Kajian Iftitah yang kedua ini bertempat di Masjid Al-Muttaqin, Jalan Gresik No. 99 Surabaya dan dihadiri oleh 70 jamaah yang berada di wilayah morokrembangan.

Ustadz Fajrul Islam Ats-Tsauri SHI M Ag dalam pembukaannya menyampaikan bahwa alam atau lingkungan memiliki hubungan dengan manusia. Hal itu karena bumi ini hanya diberikan kepada manusia bukan makhluk ciptaan Allah yang lainnya.

Hal itu sebagaimana disebutkan dalam Qur’an surah Al Baqarah ayat 29 yang artinya “Dialah (Allah) yang menciptakan segala yang ada di bumi untukmu, kemudian Dia menuju ke langit, lalu Dia menyempurnakannya menjadi tujuh langit. Dia Maha Mengetahui segala sesuatu.”

Seluruh yang ada di bumi ini adalah merupakan fasilitas Allah yang diberikan kepada manusia dalam rangka untuk beribadah kepada Allah Subhaanahuu Wa Ta’alaa. Hal itu termasuk kandungan yang ada di bumi di antaranya adalah tambang baik berupa mineral atau energi.

Manusia dan alam ini memiliki 3 konsep hubungan di antaranya adalah Taskhi. Secara bahasa mengandung arti membebani sesuatu tanpa imbalan.

Sedangkan dalam arti istilah menurut Buya Hamka adalah penundukan Allah atas segala apa yang ada di alam semesta untuk memudahkan manusia dalam beribadah kepada Allah Subhaanahuu Wa Ta’alaa.

Allah berfirman dalam Qur’an surah Luqman ayat 20 yang artinya “Tidakkah kamu memperhatikan bahwa sesungguhnya Allah telah menundukkan apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi untukmu. Dia (juga) menyempurnakan nikmat-nikmat-Nya yang lahir dan batin untukmu. Akan tetapi, di antara manusia ada yang membantah (keesaan) Allah tanpa (berdasarkan) ilmu, petunjuk, dan kitab suci yang menerangi.”

Konsep kedua adalah Istikhlaf atau pengganti. Dalam konsep ini manusia posisinya adalah sebagai kholifah untuk pengganti Allah dalam merawat, memakmurkan, menjaga bumi.

Sebagaimana disebutkan dalam Qur’an surat Al-Baqarah ayat 30 yang artinya “(Ingatlah) ketika Tuhanmu berfirman kepada para malaikat, “Aku hendak menjadikan khalifah di bumi.” Mereka berkata, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?” Dia berfirman, “Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Tujuannya diciptakan manusia dimuka bumi ini agar alam semesta bisa seimbang dan berjalan dengan apa yang dikehendaki oleh Allah Subhaanahuu Wa Ta’alaa.

Di ayat yang lain dalam Qur’an surat Al-Ahzab ayat 72 yang artinya “Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung; tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya. Lalu, dipikullah amanat itu oleh manusia. Sesungguhnya ia (manusia) sangat zalim lagi sangat bodoh.

Dengan kata lain, manusia diperintahkan untuk memanfaatkan dan memberdayakan alam yang ditinggali, tapi tidak sampai pada taraf merusak dan mengeksploitasi.

Allah menjelaskan di dalam Qur’an surat Hud ayat 61 yang artinya “…Dia telah menciptakanmu dari bumi (tanah) dan menjadikanmu pemakmurnya. Oleh karena itu, mohonlah ampunan kepada-Nya, kemudian bertobatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku sangat dekat lagi Maha Memperkenankan (doa hamba-Nya).”

Konsep ketiga yakni isti’mar atau memakmurkan. Maknanya adalah menjadikan manusia sebagai pemakmur bumi. Tugas yang dibebankan kepada manusia untuk menjaga usia bumi agar tetap panjang dengan cara memakmurkan, memberdayakan, dan memanfaatkan seisinya untuk kemaslahatan seluruh makhluk, tanpa melakukan eksploitasi.

Prinsip-prinsip Islam dalam mengelola alam yakni
Islam telah menetapkan nilai-nilai dan prinsip-prinsip yang harus dipedomani agar kegiatan menjaga dan memakmurkan bumi betul-betul terlaksana dengan benar dan tidak menyimpang.

Di antara nilai-nilai itu ada 4 prinsip yaitu:

  1. Memandang alam dengan kaca mata tauhid
  2. Tidak melakukan kerusakan alam
  3. Pengelolaan alam semesta adalah amanah dan tanggung jawab
  4. Menjunjung tinggi nilai keadilan dan keseimbangan.

Kesimpulan hukum dan fatwa :
Pada prinsipnya setiap hal (di luar ibadah) adalah boleh kecuali ada dalil yang menunjukkan sebaliknya. Dalam konteks ini pengelolaan tambang termasuk di dalamnya adalah asal hukumnya mubah.

Tentunya harus memiliki pedoman yang dilihat dari perspektif kabaikan dan keburukan dampak dari pengelolaan tambang yang ada di negara Indonesia.

Pertama, tambang harus sejalan dengan tujuan syari’ah atau dikenal maqashid syariah yaitu melindungi lingkungan (hifdz al-bi’ah), melindungi jiwa (hifdz an-nafs), melindungi harta (hifdz al-mal), dan melindungi keturunan (hifdz al-nasl).

Kedua, maslahah mursalah atau kemanfaatan umum (maslahah ‘ammah). Penerapan pengelolaan tambang harus dapat memastikan bahwa kegiatan tambang memberikan manfaat kesejahteraan sebesar-besarnya bagi masyarakat dan lingkungan sekitar (hifdz al-mal).

Ketiga, jika pelaksanaan pengelolaan tambang justru menghadirkan kerusakan (mafasad) ekosistem lingkungan darat dan laut, menimbulkan pencemaran air, menyebabkan kepunahan dan terganggunya keanekaragaman hayati, menyebabkan polusi udara, mengancam kesehatan masyarakat, menimbulkan konflik sosial terutama jika manfaat ekonomi tidak dirasakan secara merata atau terdapat ketidakadilan dalam distribusi keuntungan.

Bahkan mendorong proses pemiskinan masyarakat sekitar, maka pertambangannya yang tadinya hukumnya mubah menjadi haram. (Fatwa MUI)

Muhammadiyah dan Tambang:
Melihat persoalan tambang ini tidak bisa hanya dengan paradigma dar’u al-mafsadah (meninggalkan kerusakan) saja, atau mengejar maslahah saja. Tetapi harus dengan paradigma “Mempertimbangkan risiko yang paling ringan diantara dua kemudaratan.”

Sebagaimana dalam kaidah fiqih bahwa “Apabila terdapat dua kerusakan atau bahaya yang saling bertentangan, maka kerusakan atau bahaya yang lebih besar dihindari dengan jalan melakukan perbuatan yang resiko bahayanya lebih kecil.”

Paradigma fiqhiyyah inilah yang mungkin menjadi pijakan hukum bagi Muhammadiyah untuk menerima tantangan mengelola tambang. Harapannya Ketika Muhammadiyah memutuskan untuk menerima tawaran ini tetap memegang prinsip-prinsip pengeleloaan sumber daya alam sesuai dengan syariat.

Dengan semangat sebagai wujud komitmen persyarikatan menggembirakan dakwah amar makruf dan nahi munkar dalam konteks menjaga kelestarian alam dan keadilan sosial.

Karena prinsip hukum fikih yang berkenaan dengan kesimpulan adanya mafsadah dan mashlahah ini dibangun berdasarkan dzann (kemungkinan dan perkiraan), maka setiap fatwa dan keputusan Muhammadiyah sangat mungkin melahirkan dua sikap yang saling bertentangan di internal Muhammadiyah sendiri: ada yang pro dan ada juga yang kontra.

Maka timbulnya gejolak dan perbedaan sudut pandang di internal persyarikatan terkait dengan pertambangan ini menjadi wajar yang niscaya.

Oleh karena itu setiap orang berhak berargumen menggunakan kaidah fiqhiyyah sesuai dengan sudut pandangnya. Ketika pada saat eksekusi hasil kajiannya terbukti salah, maka langkah bijak adalah mengakui keterbatasan dan kembali kepada prinsip dasar dar’ul mafsadah. Wa Allāhu a’lam. (Wahid/Fikri)

Tinggalkan komentar